Apakah Milenial Indonesia Miskin?
Milenial Indonesia menempatkan kepemilikan rumah di urutan terakhir dalam bucket list. Apakah milenial Indonesia miskin?
Silahkan berpartisipasi;
Survei Minat Kepemilikan Rumah
Di luar jangkauan : Bunga Pertiwi Adek Puteri, 37 tahun; berfoto bersama putrinya, Kiandra Anaia, 6tahun. Bunga, yang harus merawat orang tua, saudara perempuan dan keponakannya di atas putrinya sendiri; mengaku membeli rumah terlalu jauh di luar jangkauannya saat ini. (Koleksi Pribadi/Courtesy Bunga Pertiwi)
Amahl S. Azwar (The Jakarta Post)
Bali ● Kamis, 8 Juli 2021
Apakah milenial Indonesia miskin?
Bunga Pertiwi Adek Puteri mengatakan bahwa ia tidak akan membeli rumah sendiri; karena pekerjaan telah terkendala untuknya seumur hidup. “Saya sudah 16 tahun bekerja dan untuk memiliki rumah rasanya sulit dan tidak mungkin dengan keadaan saya saat ini,” kata Bunga, usia 37 tahun; yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sebagai pekerja kantoran dengan satu anak perempuan, Kiandra Anaia, usia 5 tahun; Bunga mengakui bahwa kenaikan harga rumah di Jakarta menjadi alasan utama ia memutuskan untuk menunda mimpinya memiliki rumah – mungkin selamanya.
Bunga menggambarkan dirinya sebagai bagian dari “generasi sandwich”; yang menjadi tulang punggung keluarganya – setidaknya lima orang bergantung padanya. Kedua orang tuanya tidak memiliki dana pensiun, sehingga Bunga harus mengurus mereka. Adik perempuannya juga memiliki seorang putri berusia 6 tahun yang akan memasuki sekolah dasar. Mereka semua tinggal di rumah ibu Bunga.
“Gaji saya berbagi untuk kami berenam; jadi yang saya lakukan sekarang adalah fokus pada kebutuhan saat ini dan pendidikan anak-anak,” kata Bunga; yang juga memiliki usaha kecil-kecilan yang menjual limun.
Bunga baru-baru ini berpisah dari suaminya dan tidak menerima tunjangan – situasi yang semakin memperburuk rencana untuk membeli rumahnya sendiri. Bagi Bunga, bahkan menabung untuk uang muka membeli rumah atau apartemen itu sulit – apalagi jika properti yang termaksud berada di Jakarta.
Pada tahun 2019, Bank Dunia menerbitkan sebuah laporan yang mengutip bukti yang menunjukkan bahwa rasio harga rumah terhadap pendapatan di Jakarta lebih tinggi daripada di New York. Laporan tersebut mengutip perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan rasio harga rumah terhadap pendapatan di Jakarta menjadi 10,3; sedangkan Denpasar, Bali dan Bandung, Jawa Barat masing-masing adalah 12,1 dan 11,9. Data Demografi dan Nomura menunjukkan angka itu dua kali lipat dari rasio harga rumah terhadap pendapatan di New York dan Singapura.
“[Tapi] jika saya membeli rumah [lebih murah] di luar Jakarta, saya akan terkena biaya lebih di masa depan; – mulai dari transportasi hingga kebutuhan orang tua saya,” katanya. “Jadi beli rumah bisa menunggu nanti. Saat ini yang terpenting adalah kebutuhan sehari-hari, memiliki asuransi jiwa dan menabung untuk pendidikan anak-anak,” kata Bunga; seraya menambahkan bahwa ia bisa mengandalkan kantornya untuk asuransi kesehatan. Bunga mengatakan ia melihat orang Indonesia lain yang bukan bagian dari “generasi sandwich” lebih beruntung; karena mereka hanya bisa fokus pada diri mereka sendiri atau mungkin anak-anak mereka.
Ria, 29 tahun, yang tinggal di Yogyakarta, lajang tanpa anak dan mungkin bukan bagian dari “generasi sandwich” yang tersebutkan Bunga. Namun, memiliki rumah tidak terlintas di benak Ria saat ini. “Mungkin saya akan memikirkannya ketika saya berusia 33 tahun,” kata Ria; yang bekerja di sebuah organisasi internasional. Sebagai seorang wanita lajang, Ria merasa sedikit canggung saat mencari properti di Indonesia.
Ia mengingat pengalamannya dengan seorang agen properti dan pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya adalah; ia sudah kawin atau belum. “Alih-alih bertanya tempat saya bekerja”, ia menyindir.
Alhasil, Ria memutuskan untuk sedikit memanjakan dirinya dengan jalan-jalan atau membeli aset seperti emas atau saham; yang status perkawinannya tidak akan pernah menjadi masalah.
Seluk beluk Erik Sofiatry, 35 tahun, seorang dosen dan peneliti; mendapatkan rumahnya di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada Oktober 2020 seharga Rp 240 juta ($ 16,484). Ia mengatakan seluk-beluk pekerjaan administrasi dalam membeli rumah akan mematikan banyak milenium. “Saya mendapatkan rumah itu karena pengembang saya pintar mencari cara untuk memenuhi dokumen yang tidak mungkin saya berikan”, kata Erik. Erik menggambarkan persyaratan administrasi pembelian rumah sebagai “terlalu rumit”. Ia menyoroti kurangnya penggunaan satu sumber data, seperti e-KTP, sebagai masalah. Ia ingat bahwa ia harus memberikan beberapa surat dari kecamatannya yang menyatakan bahwa ia memang penduduk kecamatan itu. “Saya pikir tujuan memiliki e-KTP [data terintegrasi] adalah untuk dapat bergerak tanpa “batas” administratif di negara saya”, kata Erik.
Selain itu, menurut Erik, baik uang muka maupun cicilan dalam pembelian rumah terlalu mahal untuk perumahan komersial. “KPR mengharuskan Anda memiliki banyak jaminan dari pekerjaan, persetujuan dari supervisor Anda, dan lain-lain.
Bagaimana jika Anda tidak bekerja jangka panjang dengan perusahaan? Mereka tidak akan menyetujuinya. Saya pikir itu juga membutuhkan surat persetujuan dari pasangan Anda. Jika Anda lajang dan perkawinan tidak ada di kehidupan Anda, maka Anda selesai!” ia berkata.
Rumit Marine Novita, CEO Rumah.com, situs web yang menawarkan rumah untuk menjual atau menyewa; mengakui berdasarkan survei perusahaannya terhadap 1.000 orang termasuk milenial, proses KPR masih rumit. “Surat-suratnya cenderung rumit. Kami di Rumah.com bisa membantu sampai proses ke bank. Kami juga bekerja sama dengan salah satu bank dengan harapan dapat mempermudah proses pengajuan KPR. Namun, tentunya pihak bank perlu ingat agar bisa merespon dengan cepat. Kadang ada pelanggan yang melamar hari ini, tapi responnya datang beberapa hari kemudian,” ujarnya.
Andra Matin, seorang arsitek, mengakui meski sudah bekerja keras menyediakan hunian murah dengan mengutamakan estetika, ia masih melihat banyak generasi milenial yang kesulitan membeli rumah.
“Intinya, ada empat elemen untuk membangun rumah yang baik. Pertama, harus sehat. Kedua, harus kuat. Ketiga, rumah harus cantik. Keempat, harus hemat energi. Sangat sulit membangun rumah dengan empat faktor ini dan membuatnya murah,” kata Andra mengutip The Jakarta Post. Andra menyarankan untuk mengurangi anggaran, sebaiknya rumah menggunakan bahan prefabrikasi untuk menghemat biaya dan waktu. “Dengan itu, kami berharap rumah bisa lebih terjangkau, terutama bagi kaum milenial,” kata Andra; yang bekerja untuk properti Samanea Hill, yang menawarkan rumah seharga sekitar Rp 500 juta ($ 34,377) di distrik Parung Panjang di Bogor, Jawa Barat.
This article was published in thejakartapost.com with the title “Indonesian millennials put homeownership last on bucket list“.
Milenial Indonesia menempatkan kepemilikan rumah di urutan terakhir dalam bucket list. Apakah milenial Indonesia miskin?
Milenial Indonesia menempatkan kepemilikan rumah di urutan terakhir dalam bucket list. Apakah milenial Indonesia miskin?
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.