Selayang Pandang NFT dan Autentikasi Diri
NFT merupakan wadah dan sarana digital dimana orang dapat berbisnis dan menjual semua konten dan data digital miliknya yang otentik dan tersertifikasi. Bukan hasil plagiasi atau copy paste. Dan juga tidak bisa di copy paste atau ditiru. Tidak ada yang sama, menjadi karya satu²nya.
Fenomena pemuda Ghozali, beberapa waktu lalu yang sempat viral, dan ratusan orang di belahan dunia lainnya kebetulan ditunjukkan bahwa value dari autentikasi diri dan hasil karya mereka dihargai dengan sekian jumlah Uang.
Ini baru pelajaran kulit. Jadi apa pelajaran mendalam yang dapat kita ambil? Tetap saja kembali ke pelajaran paling mendasar tentang keberadaan umat manusia di bumi ini.
Yaitu mengenal diri sendiri ”Menjadi diri sendiri, menjadi dirimu yang sejati. Menjadi dirimu yang otentik. Itulah value mu”
Bahkan jaman dulu orang-orang tua Jawa sudah merumuskan bahwa jenis manusia itu ada 3 yaitu :
Pertama Manusia cangkul : hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, menumpuk harta sebanyak-banyaknya dengan segala cara, tukang nyari cuan.
Kedua Manusia Pedang : lebih berorientasi pada kemanfaatan diri sebagai ”pemimpin”, peran diantara orang-orang disekelilingnya, berkarya demi keberlangsungan kehidupan, selain dapat kedudukan dan derajat lebih tinggi juga pasti mendapatkan keamanan ekonomi sebagai kompensasi.
Yang ketiga adalah Manusia Keris (Pusaka) : manusia yang sudah memahami spirit tertinggi dan melaksanakan pusakanya hidup, manunggal dengan kesejatian dan memayu hayuning bawana. Dan secara otomatis meraih makna manusia pedang sekaligus cangkul.
Jaman sekarang, Manusia hampir semuanya Cangkul. Jadi menghadapi dunia NFT ini sedikit bisa menyentil. Bagaimana menciptakan diri dengan karya otentik. Meskipun lagi-lagi ujungnya baru kepada manusia Cangkul.
Nah, masalah besar dihadapi manusia peradaban ini. Bagaimana caranya menjadi manusia otentik, asli, sejati jika seluruh sistem kehidupan kita berbasis ”ilmu jare” (ilmu katanya, harus pake referensi, sumber rujukan, dalil, dsb)? Baik dalam sistem pendidikan, kebudayaan, believe system, life style dll.
Hal-hal yang saya sebutkan tadi menjadi tantangan besar untuk generasi kekinian. Namun ada berita gembiranya, bahwa menurut penelitian ilmiah mengenai perangkat kecerdasan otak manusia, memberikan penjelasan tentang perkembangan software bawaan lahir dari generasi jaman ini, atau biasa disebut generasi Y, Z, Alpha dst.
Mereka yang lahir di era-era sekarang ini dicatat memiliki software otak yang lebih baru, lebih terupgrade, dengan kapasitas dan daya yang lebih besar dari pada generasi-generasi sebelumnya. Mirip dengan perkembangan perangkat teknologi digital. Itu artinya daya kreativitasnya pun lebih tinggi.
Jaman digital menuntut kreativitas tinggi untuk bersaing di kancah global, yang menuntut generasi kekinian untuk secara total mendayagunakan kecerdasannya, agar menghasilkan karya yang tidak hanya bagus tapi berkualitas dan membawa manfaat bagi perkembangan peradaban manusia.
Hasil karya yang berkualitas biasanya adalah karya yang berdasarkan passion dan keahlian masing-masing orang, bukan karya jiplakan. Disinilah generasi jaman ini ditantang untuk menciptakan karya otentik. Maka mereka akan menemukan ‘dirinya’, menampilkan ‘dirinya’, mengekspresikan dan mengaktualisasikan ‘dirinya sendiri’ dalam karya-karya yang mereka buat. ‘Diri’ yang dimaksud adalah jatidiri setiap pribadi, sehingga orang akan menjadi dirinya sendiri. Itulah otentisitas.
There are no comments
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.