Pasangan Dari Desa Gila
Pasangan dari desa gila di Indonesia membuka rumah mereka untuk orang-orang dengan penyakit mental.
Sobi baru saja selesai makan siang ketika ia tiba-tiba berjalan menuju pohon. Di bawah pohon, wanita berusia 65 tahun itu berjongkok dan mengangkat gaun kuningnya. Kemudian, ia buang air besar.
Ibu rumah tangga Lamini, mencoba menghentikannya dengan sia-sia. Sebagai pengasuh orang-orang dengan masalah kesehatan mental seperti Sobi. Ia dan suaminya Heru Setyawan akrab dengan situasi seperti itu.
“Saya sudah terbiasa, jadi menurut saya tidak menjijikkan lagi,” kata Lamini, 44, saat wawancara mengutip dari CNA.
Di rumah mereka di Desa Paringan, yang sering mendapat sebutan “desa gila” di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur, mereka membuka pintu bagi orang-orang dengan masalah kesehatan mental. Mereka menamakan tempat mereka Margo Widodo, yang dalam bahasa Jawa berarti jalan kebaikan. Pasangan itu berharap bahwa rumah dan cara hidup mereka akan mengarah pada hal-hal yang indah.
Mereka memiliki tiga kamar di halaman belakang mereka yang terbangun khusus untuk menampung orang-orang dengan masalah kesehatan mental. Duo ini telah melakukan pekerjaan suka rela selama 15 tahun dan saat ini merawat delapan wanita kiriman oleh keluarga mereka sendiri.
“Itu panggilan saya,” kata Setyawan menjawab pertanyaan alasan ia menerima orang asing. Lamini mengatakan bahwa sebagian besar wanita yang mereka tempati telah terdiagnosis menderita skizofrenia. Ia mengakui bahwa ia awalnya tidak menyukai gagasan menerima orang asing dengan masalah kesehatan mental di rumahnya.
DARI SUKA RELA UNTUK MEMBUKA RUMAH MEREKA
Lulus SMA, Setyawan, 53 tahun, yang pertama kali melakukannya. Ketika ia masih di sekolah menengah, salah satu kakak laki-lakinya menderita depresi dan halusinasi. Sebagai anak ke tujuh dari delapan, Setyawan bertugas untuk merawat saudaranya karena saudara-saudaranya yang lain memiliki tanggung jawab lain.
Karena tidak ada rumah sakit jiwa di Ponorogo, Setyawan harus membawa kakaknya berobat ke Kabupaten Malang dan Solo di Jawa Tengah. Namun pada 1980-an, jaraknya sekitar lima jam berkendara dari desanya. Perjalanan bus sering melelahkan tetapi Setyawan berkomitmen untuk membantu saudaranya.
Selama bertahun-tahun, tersiar kabar bahwa Setyawan akrab dengan cara bepergian ke Solo dan Malang untuk perawatan kesehatan mental. Masyarakat Ponorogo mulai meminta bantuannya untuk membawa orang yang mereka cintai berobat. Setyawan tidak keberatan membantu dan terus melakukannya saat bekerja sebagai sekretaris desa di Paringan, yang terletak di dalam Kabupaten Ponorogo. Ia kawin dengan Lamini pada tahun 1998.
Pada tahun 2005, Setyawan harus berhenti menjadi relawan. “Saya harus berhenti melakukannya karena saya menderita tetanus,” kenangnya. Ia hampir mati tetapi akhirnya berhasil pulih. Ia mengatakan kepada CNA bahwa pengalaman mendekati kematian membuatnya memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang-orang dengan masalah kesehatan mental.
Pada tahun 2007, seseorang meminta Setyawan untuk menjemput dua pria, berusia 37 tahun dan 45 tahun, yang telah keluar dari rumah sakit jiwa. Karena keluarga mereka tidak menyambut mereka kembali, Setyawan memutuskan untuk membawa mereka pulang.
Lamini ingat kaget saat Setyawan pulang bersama orang asing.
“Bagi saya, itu hanya aneh. Mengapa kita harus menerimanya di rumah kita? Kami masih keluarga muda dan saya menginginkan perhatian dari suami saya tetapi terpaksa membaginya dengan orang asing.”
Akhirnya, ia mulai mengerti alasan Setyawan ingin membantu.
“Saya menyadari bahwa orang yang menderita gangguan kesehatan mental juga membutuhkan perhatian, kasih sayang dan cinta seperti kita orang normal,” kenang Lamini.
Setyawan menambahkan; “Dan sekarang justru sebaliknya. Ia yang merawat mereka.”
Selama 10 tahun berikutnya, mereka menerima sebagian besar pria yang menderita masalah kesehatan mental.
Namun pada tahun 2017, mereka memutuskan untuk hanya menampung wanita karena Setywan mulai mundur karena alasan kesehatan dan Lamini menjadi pengasuh utama. Setyawan dan Lamini tidak memungut biaya untuk merawat mereka yang mengalami gangguan jiwa. Namun, sebagian besar keluarga memberi pasangan itu sejumlah kecil uang untuk membantu pengeluaran mereka. Ketika dana menipis, pasangan itu akan menarik dari tabungan mereka. Mereka juga telah menerima sumbangan dari masyarakat.
Margo Widodo bisa mengurus 12 orang sekaligus.

Ketika CNA berkunjung pada pertengahan Agustus, mereka merawat delapan wanita berusia antara 29 dan 65 tahun. Mereka menyebut mereka anak-anak mereka. Tiga orang asli Ponorogo, dan sisanya dari Propinsi Jawa Timur lainnya. Pasangan ini juga telah melindungi orang-orang dari luar Jawa seperti Kalimantan dan Sumatera.
KEKURANGAN SUMBER DAYA KESEHATAN MENTAL
Menurut statistik 2018 oleh Kementerian Kesehatan Indonesia, sekitar 9,8% dari 270 juta penduduk negara ini menderita gangguan kesehatan mental. Statistik juga mengungkapkan bahwa di setiap 1.000 rumah tangga, tujuh di antaranya memiliki setidaknya anggota yang menderita masalah kesehatan mental yang parah.
Tahun lalu, Kementerian Kesehatan RI mengatakan bahwa prevalensi orang di Indonesia yang memiliki masalah kesehatan mental adalah sekitar satu dari lima. Selain itu, pada tahun 2020 sekitar 6.500 orang dengan masalah kesehatan mental mengalami belenggu (pasung) di Indonesia, menurut Kementerian Kesehatan RI.
Praktik ini umum di daerah pedesaan di daerah dengan akses ke perawatan kesehatan mental menjadi masalah.

Meski jumlah kasus secara nasional cukup tinggi, namun jumlah rumah sakit jiwa di Indonesia hanya sekitar 50-an. Hingga tahun lalu, dari 34 propinsi di Tanah Air, enam di antaranya belum memiliki rumah sakit jiwa.
Dalam konteks ini, karya Margo Widodo mendapat perhatian media. Dalam sebuah wawancara, Setyawan mendapat pertanyaan jumlah banyak orang di desa Paringan yang menderita gangguan kesehatan mental. Setyawan menjawab bahwa angka itu sekitar 60 orang dari populasi sekitar 6.000, tetapi itu menurut ia, wartawan melaporkannya sebagai 60 persen dari populasi desa.
Laporan itu dengan cepat menjadi viral dan orang-orang mulai menyebut Paringan sebagai “desa gila”.
“KAMI SANGAT SEDIH KARENA STIGMA”
Hal ini menurunkan harga diri masyarakat Desa Paringan.
“Kami sangat sedih karena stigma itu. Itu membuat warga merasa down dan tidak percaya diri ketika menyebut mereka berasal dari Paringan,” kata kepala desa Suwendi yang hanya terpanggil satu nama.
Penduduk desa telah bereaksi terhadap stigma dengan mengerjakan berbagai proyek peningkatan masyarakat untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki banyak hal untuk menjadi tawaran. Misalnya, penduduk desa memproduksi sendiri air minum mineral yang sebutannya air Bali.
Kerja keras mereka telah terbayar dan desa itu sekarang mendapat pengakuan terhormat. Tahun lalu, Paringan meraih juara kedua desa terbaik se-Jawa Timur.

Lomba ini terselenggara oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Jatim. Perhatian media di Paringan juga menghasilkan lebih banyak sumber daya kesehatan mental menjadi tersedia secara lokal.
Di Indonesia, setiap kabupaten biasanya memiliki Puskesmas yang menawarkan bentuk pelayanan kesehatan masyarakat yang paling dasar. Namun kini Desa Paringan memiliki Puskesmas yang khusus terbentuk untuk menangani kasus-kasus kesehatan jiwa.
Itu berdiri oleh pemerintah ketika pejabat dari Dinas Kesehatan Jawa Timur mendengar bahwa ada banyak orang di desa dengan masalah kesehatan mental. Bagi Setyawan dan Lamini, Puskesmas memudahkan pekerjaan mereka karena menyediakan layanan medis bagi mereka yang tinggal bersama mereka.
Oleh karena itu, pasangan ini mendapat fokus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para wanita dan memastikan bahwa mereka meminum obat mereka. Mereka melatih para wanita untuk hidup normal dan mandiri sejauh mungkin, melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu lantai dan mencuci piring.
Mereka yang tinggal di Margo Widodo juga membuat kerajinan tangan bersama Lamini dan belajar bercocok tanam hidroponik. Sejumlah wanita telah berada di Margo Widodo selama sekian bulan, tetapi ada yang lain seperti Sobi yang telah berada di sana selama bertahun-tahun.
Siti, 33, sudah empat bulan di sana. Dia menderita depresi karena dia merasa hidupnya tidak berjalan sesuai rencana. Tapi dia perlahan membaik. “Saya harap saya bisa kembali ke rumah. Saya ingin terus menjalani hidup saya, kehidupan yang lebih baik,” kata Siti kepada CNA.
Sementara itu, Danang, 36 tahun, telah mempercayai Setyawan dan Lamini untuk merawat adiknya Dian selama delapan tahun terakhir. Danang mengatakan, kondisi adik perempuannya yang berusia 34 tahun itu mengalami perbaikan sejak tinggal di Margo Widodo.
“Dia lebih patuh tinggal di sini. Ketika orang sakit (mental), mereka tidak stabil, kadang emosional dan kadang ngelantur.”
“Ketika ia di rumah, ia akan melawan ibu saya dan saya, tetapi di sini, dia patuh. Dia mudah patuh aturan dan dapat melakukan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan membeli bahan makanan, ”katanya. Saat CNA berada di Margo Widodo, Dian tampak senang menerima tamu.
Perbuatan baik Setyawan dan Lamini juga tak luput dari perhatian. Pada tahun 2013, Setyawan menerima piagam penghargaan oleh Gubernur Jawa Timur atas kiprahnya sebagai relawan kesehatan jiwa.
“Ini harta saya yang paling berharga,” kata Setyawan sambil menunjukkan sertifikatnya.
Selama bertahun-tahun, pasangan itu mengatakan mereka telah membantu ratusan orang dengan masalah kesehatan mental tetapi perjalanan mereka masih jauh dari selesai.
“Saya berharap akan ada generasi penerus yang akan merawat orang-orang dengan masalah kesehatan mental, baik di Jawa Timur maupun di propinsi lain,” kata Setyawan.
Nama lengkap orang-orang dengan penyakit mental dan anggota keluarga mereka rahasia untuk melindungi identitas mereka.
Pasangan Dari Desa Gila
Artikel pernah muat di Channel News Asia; Pasangan dari ‘desa gila’ di Indonesia membuka rumah mereka untuk orang-orang dengan penyakit mental.
Desain website oleh Cahaya TechDev – Klub Cahaya
Dukungan & komentar!
Komentar