Penghayat Kepercayaan Distigma Sesat

Penghayat Kepercayaan Distigma Sesat (Tulisan II)

ENGKUS Ruswana, 63, penghayat kerpercayaan Budi Daya, Bandung, dan rekan-rekan senasibnya masih meriung di gazebo besar. Setelah mendengar kisah diskriminasi dari teman-temannya, Engkus pun menutur kisah yang tak kalah harunya.

Penghayat Kepercayaan Distigma Sesat (Tulisan II)
ENGKUS Ruswana, penghayat kerpercayaan Budi Daya, yang memperjuangkan hak penganut kepercayaan

Engkus masih ingat ketika 2002, ibunya meninggal dunia. Sebelum meninggal, ibunya berpesan kepada keluarganya agar nanti makamnya di kampung kelahirannya, Ciamis, Jawa Barat.

Sesampainya di lokasi permakaman, mobil jenazah oleh serombongan masyarakat berhentikan. Jenazah ibu Engkus tidak mereka perkenankan untuk terkubur di permakaman itu. Padahal, tempat itu ialah permakaman umum.

Alasan orang-orang yang mencegat, ibu Engkus bukan seorang muslim. Musyawarah pun mereka lakukan. Akhirnya ibunya Engkus boleh melakukan pemakaman di situ dengan syarat harus terlebih dahulu ke masjid untuk mereka salatkan.

Penghayat Kepercayaan Distigma Sesat Sudah Sejak Lama

Hal itu bisa terjadi di masyarakat, menurut Engkus, karena pengikut penghayat kepercayaan banyak yang menganggap sesat. “Sejak jaman penjajahan, mereka telah menstigma sesat,” kata Engkus yang mulai mengurai benang kusut penyudutan kepercayaan itu.

Stigma itu sempat memudar pada masa awal kemerdekaan dengan adanya Pasal 29 UUD 1945 yang menjadi dasar perlindungan penghayat kepercayaan.

Namun, pada 1950- an, Menteri Agama merasa kecolongan karena semakin banyak penghayat kepercayaan. Lalu, muncul pelemahan dengan membuat kriteria agama. Intinya, kata Engkus, jangan sampai ada kepercayaan penghayat yang masuk.

Perlakuan diskriminatif semakin terasa ketika peristiwa G30S meletus. Orang-orang yang tak beragama mereka anggap sesat, ateis, dan masyarakat penghayat kepercayaan merasa terintimidasi. Pasca itu, silih berganti pembedaan perlakuan muncul.

“Tapi kadang pemerintah juga memberikan kami harapan, meskipun berakhir kosong dan perlakuan diskriminatif muncul lagi. Seperti pada 1970-an, ada komponen GBHN yang mengakomodasi kepercayaan penghayat. Pada 1974 ada UU Perkawinan dan peraturannya keluar 1975 yang bunyinya penghayat kepercayaan bisa menikah melalui aliran kepercayaannya masing-masing.”

“Setelah itu muncul lagi aturan yang melarang, begitu terus dari tahun ke tahun,” ujar Engkus, pelan.

Makrus Ali, 29, Program Manager Satunama, yang konsen mengawal isu masyarakat penghayat kepercayaan, mengaku menemukan masih banyaknya perlakuan berbeda yang penghayat kepercayaan di Indonesia alami.

Seperti tidak boleh sekolah, tidak boleh bekerja, tertolak masuk TNI/Polri, bahkan penolakan permakaman jenazah.

Indonesia ialah negara dengan kebergaman suku, budaya, bahasa, hingga kearifan lokal. Seharusnya masyarakatnya memahami keberadaan penghayat kepercayaan dan menerimanya tanpa syarat. Bagi Makrus, itulah kunci utama keberagaman.

“Jangan ada lagi stigma, diskriminasi, dan perlakukan penghayat dengan setara semartabat di antara sesama warga negara,” ucapnya.

Berita ini telah terbit di : MEDIA INDONESIA, dengan judul ‘Penghayat Kepercayaan Distigma Sesat (Tulisan II)‘.

Kembali ke beranda Klub Cahaya, atau kunjungi toko kami Klubshop untuk berbagai penawaran menarik!

About the author : Evitaaa
Tell us something about yourself.

Mungkin Anda Menyukai

Dukungan & komentar!

Biar Karya Bicara
Ambil bagian, mainkan peran hidupmu!

Komentar

No comments yet