Tentang Sunda Wiwitan Urang Kanekes

Tentang Sunda Wiwitan Urang Kanekes
Oleh : Tavip Sabadila Ginting Suka

Presiden Joko Widodo kerap menggunakan pakaian adat dalam berbagai acara resmi kenegaraan, di antaranya :

Dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2017, Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Bugis, songkok Bugis berwarna emas dan sarung songket bernuansa oranye dan merah marun. Kemudian dalam upacara Kemerdekaan RI ke-73 di Istana Negara tahun 2018 Presiden Jokowi menggunakan pakaian adat Aceh.

Berikutnya Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Sasak, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Sidang Bersama DPR-DPD pada Agustus 2019. Pakaian adat Sasak yang terpakai oleh Presiden Jokowi berwarna cokelat dengan bawahan kombinasi hitam, emas dan oranye. Keris tampak terpasang di bagian depan pakaian. Pahun 2020 Jokowi menggunakan pakaian adat Suku Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT) saat menghadiri Sidang Tahunan MPR RI.

Sidang Tahunan MPR RI kali ini Presiden Joko Widodo mengenakan Baju adat dari masyakarat Urang Kanekes, kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten. Presiden mengucapkan terima kasih kepada Pak Jero Saija tetua masyakat Urang Kanekes, yang telah menyiapkan baju adat tersebut, Presiden juga menyukai kesederhanaan dan kenyamanannya.

Tentang Sunda Wiwitan Urang Kanekes
Presiden Joko Widodo mengenakan Baju adat dari masyakarat Urang Kanekes.

Tavip S Ginting, pelaku budaya yang juga merupakan Koordinator Wilayah Jawa Barat Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT) menyampaikan apresiasi yang tinggi atas pilihan Presiden Jokowi selama ini untuk menggunakan baju adat suku-suku di Indonesia dalam acara resmi kenegaraan.

“Selayaknya kita apresiasi yang setingginya. Presiden secara rutin mengenakan baju adat dalam acara resmi kenegaraan seperti Sidang Tahunan MPR ini. Hal yang berlaku oleh Presiden ini tentunya adalah untuk memberikan contoh kepada masyarakat kita untuk lebih percaya diri dengan adat budaya sendiri.” ujar Tavip.

Tavip juga menyampaikan himbauan secara khusus untuk penyebutan Suku Baduy mulai kembali kepada sebutan asalnya yakni “Urang Kanekes”.

“Penyebutan “Suku Baduy” ini produk kolonial Belanda, bernada miring, sudah saatnyalah kita kembalikan kepada sebutan aslinya,” jelas Tavip.

Menutup pembicaraan Tavip menyampaikan ujar-ujar dari masyarakat Kanekes sebagai berikut :

“Pendek tidak boleh menyambung
Panjang tidak boleh memotong
Memetik harus permisi
Memanen harus meminta
Sesuatu harus terumumkan
Menggali kencur harus mohon restu
Jangan ribut jangan berbohong
Menebang harus sesuai
Yang sesungguhnya benar harus terkatakan benar
Yang terlarang harus tetap terlarang
Jangan iri jangan dengki
Jangan merusak negara dan bangsa
Gunung tidak boleh hancur
Lembah tidak boleh rusak
Larangan tidak boleh terlanggar
Kabuyutan tidak boleh berubah”

Tentang Sunda Wiwitan Urang Kanekes
Acara Milangkala Lentera Nusantara tahun 2015 pembukaan dengan Ngareremokeun oleh Urang Kanekes.

“Pada intinya segala sesuatu ada hukumnya. Keselarasan dengan alam terimplementasikan bersamaan dengan mematuhi aturan negara. Adat dan kearifan lokal selayaknya menjadi unsur dasar pembentukan karakter bangsa. Sesungguhnya inilah jati diri kita, selaras dengan Trisakti Bung Karno yakni, berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Sebagai Bangsa yang besar tentunya tidak mengingkari jati diri,” tutup Tavip.

Tentang Sunda Wiwitan Urang Kanekes

Desain website oleh Cahaya TechDevKlub Cahaya

About the author : Ciung Wanara
Tell us something about yourself.

Mungkin Anda Menyukai

Dukungan & komentar!

Biar Karya Bicara
Ambil bagian, mainkan peran hidupmu!

Komentar

No comments yet