Ameenah Gurib Fakim Dari Sains ke Kursi Presiden

Ameenah Gurib Fakim, Dari Sains Ke Kursi Presiden

Wanita di ranah sains adalah minoritas. Wanita duduk di kursi kepresidenan, jauh lebih langka lagi. Ameenah Gurib-Fakim (56) adalah sosok yang berhasil mendobrak keduanya.

Wanita pertama yang menjadi Presiden Mauritius-negeri yang terletak di Kepulauan Mascarene, sebelah timur Madagaskar, yang masuk dalam benua Afrika- tersebut membagi pengalaman hidupnya kepada femina dalam wawancara via Skype oleh L’Oréal Indonesia.

Ameenah Gurib Fakim Dari Sains ke Kursi Presiden
Ameenah Gurib-Fakim, Presiden Mauritius ke-6 dari tahun 2015 hingga 2018. Pada bulan Desember 2014, ia terpilih menjadi kandidat presiden Aliansi Lepep.

Ameenah Gurib Fakim

Penerima penghargaan L’Oréal-UNESCO For Women in Science (FWIS) Award di tahun 2007 ini bukanlah orang baru di dunia sains. Wanita yang lahir dan besar di Quatre-Bornes, Mauritius, ini menempuh studinya hingga meraih gelar Ph.D. di jurusan kimia, di University of Surrey dan Exeter University, Inggris.

Sekembalinya ke Mauritius, Ameenah yang menghadapi keterbatasan fasilitas tak bisa meneruskan risetnya di bidang kimia organik. Kenyataan ini tidak lantas membuatnya mati langkah dan pasrah. Panggilan menjadi seorang peneliti yang mengabdikan profesionalismenya bagi kemanusiaan pada akhirnya membawanya menekuni ladang sains baru, ethnopharmacology, sains tentang terapi, penyembuhan, preventif, dan diagnosis penyakit yang berbasis pada keragaman tanaman lokal.

Siapa yang menyangka bahwa passion sebagai peneliti menjadi lebih subur saat berganti haluan menekuni ethnopharmacology.

Menemukan Passion Baru

“Mauritius adalah negeri yang menjadi salah satu titik keragaman hayati terbesar di dunia. Ada sekitar 300-an spesies tanaman yang hanya bisa kita temukan di pulau tersebut,” tutur Ameenah, yang sempat meniti karier di dunia akademisi di University of Mauritius sebelum mendedikasikan kariernya pada dunia riset secara penuh waktu.

Totalitas dan visinya yang besar dalam dunia riset mendorong Ameenah mendirikan CIDP Research & Innovation (Centre International de Développement Pharmaceutique). Pusat riset ini memfokuskan pada tumbuhan yang khusus untuk kosmetik, nutrisi, dan terapi kesehatan.

Pengobatan herba yang menjadi ketertarikan Ameenah sebetulnya telah lama oleh penduduk Mauritius gunakan, terutama pada 20 tahun silam. Beberapa spesies endemik Mauritius yang tak ada di tempat lain, seperti tanaman baobab dan benjoin, ternyata memiliki manfaat tinggi dalam terapi kesehatan maupun untuk keperluan kosmetik.

Ameenah menekankan, riset yang ia lakukan sebetulnya hanyalah untuk memvalidasi khasiat tanaman-tanaman obat tersebut, berdasarkan klaim dari pengobatan tradisional yang sudah terkenal dari mulut ke mulut.

“Harus ada kajian ilmiah supaya kita tahu bahwa suatu tanaman memang jelas khasiatnya, aman dan berapa banyak dosis yang kita butuhkan. Kalau itu semua sudah, kita punya sarana yang kuat untuk mengurangi tingkat penyebaran penyakit yang banyak mewabah di negara miskin,” tuturnya.

Fokus Penelitian

Selain tanaman endemik, ada pula beberapa jenis tanaman yang menjadi fokus penelitiannya, yang banyak tumbuh juga di kawasan Asia. Misalnya peria (pare), yang berkhasiat untuk penderita diabetes.

“Hipotesis kami, ekstrak peria mampu mengurangi kandungan glukosa dalam darah,” tutur Ameenah, yang pernah menjadi penasihat di International Science Foundation Swedia, dan penasihat untuk penyakt infeksi badan PBB.

Lebih jauh, Ameenah menyesalkan ancaman nyata pada keanekaragaman hayati Mauritius.

“Dulu Mauritius masih punya banyak hutan. Kini hutan yang tersisa hanya tinggal 2 persen,” sesalnya. Bukan tidak mungkin, satu demi satu spesies itu akan punah. Contoh nyata adalah burung dodo, spesies endemik Mauritius yang kini telah punah.

Ancaman terbesar itu, menurut Prof. Ameenah, terutama datang dari masalah populasi, ekspansi perumahan penduduk, dan aktivitas manusia. “Kini tantangan itu kian bertambah dengan adanya perubahan iklim,” jelasnya.

Ameenah Gurib Fakim Terjun ke Politik

“Saya kira ini merupakan kejadian langka, seorang presiden terpilih dengan latar belakang peneliti di laboratorium,” ujar ibu dari Adam dan Imaan ini.

Mengenai keputusannya bersedia terjun ke politik hingga mengantarkannya duduk di kursi kepresidenan, ia mengatakan, “Saya tidak pernah memilih politik, tetapi politiklah yang memilih saya.”

Ceritanya, koalisi politik Alliance Lepep, dengan pimpinan Perdana Menteri Mauritius, Anerood Jugnauth, tertarik mengenai kredibilitas yang Ameenah miliki.

“Mereka menginginkan seseorang yang sudah terkenal prestasinya. Mereka ingin figur wanita, yang datang dari latar belakang nonpolitik, yang punya kredibilitas,” ungkap Ameenah, yang mengatakan ia sama sekali tak pernah berambisi dengan politik.

Baginya, menyetujui namanya menjadi pemimpin koalisi hanyalah sebuah keputusan yang nothing to lose. Ameenah tak pernah menyangka ia akan terpilih. Sehari sebelum diumumkan, ia bahkan masih bekerja di laboratorium.

Ameenah mengatakan, warga Mauritius merindukan perubahan. Dulu, orang memilih karena kasta dan agama. Untuk pertama kalinya, orang bisa memilih karena partai dan ide-ide. Ameenah yang beragama Islam nyatanya bisa memenangkan pemilu di negeri dengan penduduk muslim hanya 17%.

Tentang Mauritius

Mauritius

Mauritius adalah negeri dengan profil yang unik. Ada beragam etnis yang hidup berdampingan, antara lain etnis India, Afrika, Cina, dan bangsa kulit putih asal Eropa. Ia bersyukur, negerinya cukup terbuka terhadap kesetaraan gender di bidang pendidikan maupun tingkat penghasilan yang setara antara pria dan wanita.

Ke depannya, sebagai ilmuwan, ia merasa perlu figur kepemimpinan yang kuat, untuk menciptakan generasi yang menghasilkan peneliti sains berkualitas tinggi. Ia menyayangkan, masih minimnya ilmuwan yang berasal dari Afrika. “Saya berharap bisa menjadi role model bagi generasi muda, terutama para gadis remaja, yang berminat pada sains.”

Ameenah mengakui, wanita di ranah sains jumlahnya masih sangat langka. Hal yang sama juga terjadi di Mauritius. Wanita masih menghadapi adanya diskriminasi berupa tekanan sosial. Misalnya, ia menyebut, ketika seorang wanita peneliti menghabiskan lebih banyak waktu di laboratorium ketimbang di rumah, maka ia egois.

“Berbeda ketika seorang pria pulang larut malam dari lab, ia akan dikatakan berdedikasi tinggi. Lagi-lagi, pandangan ini haruslah kita ubah,” tutur wanita yang gemar berkebun di waktu luangnya, dan memiliki koleksi 200 tanaman bonsai, ini.

Artikel ini telah terbit di : Femina, dengan judul ‘Ameenah Gurib Fakim, Dari Sains Ke Kursi Presiden‘.

Kembali ke beranda Klub Cahaya, atau kunjungi toko kami Klubshop untuk berbagai penawaran menarik!

About the author : Evitaaa
Tell us something about yourself.

Mungkin Anda Menyukai

Dukungan & komentar!

Biar Karya Bicara
Ambil bagian, mainkan peran hidupmu!

Komentar

No comments yet