Filosofi Kain Tenun Kanekes

Filosofi Kain Tenun Kanekes

Indonesia memiliki keragaman suku bangsa dan budaya. Bukan hanya kaya dengan budaya, seperti tari-tarian atau adat istiadat, ada satu kekayaan Indonesia juga. Kekayaan tersebut adalah di kain.

Kita mengenal ulos dari batak, sasirangan dari Banjar, sarung bugis, songket Palembang dan Lombok, kain lurik dan beragam kain khas Indonesia lainnya. Salah satu kain khas ini adalah dari Suku Kanekes.

Pernah mengenal suku Kanekes dari Banten?

Suku Urang Kanekes atau Orang Kanekes, merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi Urang Kanekes ini perkiraannya 26.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Kanekes Dalam.

Asal muasal sebutan “Baduy” merupakan pemberian penduduk luar dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.

Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka, seperti Urang Cibeo.

Filosofi Kain Tenun Kanekes

Suku Kanekes ini memiliki kain tenun yang bernama Tenun Kanekes. Kain Tenun Kanekes ini memiliki makna-makna yang erat hubungannya dengan tradisi dan kepercayaan mereka. Kain ini bukanlah untuk memenuhi kebutuhan sandang saja.

Filosofi Kain Tenun Kanekes

Bagi Orang Kanekes, kain ini juga menjadi identitas terlebih khusus nilai-nilai adat yang juga melambangkan kehadiran mereka. Kain tenun ini sangat dekat dengan kehidupan khususnya lingkungan keluarga.

Sekilas, aktivitas menenun tampak sebagai kegiatan sampingan yang seolah-olah hanya merupakan aktivitas pengisi waktu luang bagi kaum perempuan Kanekes. Namun ternyata setelah penelusuran secara lebih dalam, aktivitas menenun mengandung sejumlah nilai yang lebih penting. Bagi masyarakat Kanekes, menenun mengajarkan kedisiplinan. Setiap anak perempuan yang lahir di Kanekes, sedari kecil mereka sudah erat dengan kedisiplinan yang tinggi dengan cara mempelajari aturan adat dan nilai-nilai Masyarakat Adat Kanekes. Salah satunya berhubungan dengan aktivitas menenun.

Mereka meyakini, kegiatan menenun merupakan wujud dari ketaatan perempuan Kanekes terhadap aturan adat yang mereka junjung.

Tekstur Khas Tenun Kanekes

Kain tenun Kanekes memiliki kekhasan dari bahannya yang agak kasar dan warnanya cenderung dominan. Bintik-bintik kapas dari proses pemintalan tradisional telah menghasilkan tekstur khas tenun Kanekes.

Alat untuk memintal dari kapas menjadi benang, merupakan alat yang mereka ciptakan sendiri sejak ratusan tahun lalu. Urang Kanekes menyebut alat pemintalan dengan gedogan/raraga.

Kain tenun yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan sandang itu, tampak sederhana. Motif andalan mereka adalah motif geometris. Seperti garis berbentuk kait, spiral atau pilin, garis lurus, segi tiga, segi empat, bulatan, dan masih banyak lagi.

Tenun Kanekes tak ubahnya ungkapan estetika dan alam sekitar pegunungan Kendeng, tempat masyarakat Kanekes bermukim. Coraknya mencerminkan sikap hidup dan adat istiadat yang masih ketat Orang Kanekes jaga sebagai warisan nenek moyang. Ragam hias yang mencerminkan filosofi hidup mereka.

Untuk menghasilkan kain tenun Kanekes ini, prosesnya cukup lama. Bahkan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Lamanya proses ini karena besar dan kerumitan membuat motif kain. Biasanya motif kain Suku Kanekes berupa garis warna-warni dan motif yang terinspirasi dari alam.

Suku Kanekes menggunakan kain tenun ini sebagai bahan utama pembuatan baju adat. Terlebih lagi jika menyangkut dengan Suku Kanekes Dalam yang masih memegang teguh aturan adat. Pakaian harus terbuat dari kapas dan tidak boleh menggunakan mesin jahit dalam pembuatannya.

Untuk Suku Kanekes dalam, hasil kain tenunnya yaitu dominasi warna putih. Warna ini diartikan dengan suci dan aturan yang belum terpengaruh dengan budaya luar.

Sedangkan untuk masyarakat Kanekes Luar, kain tenun akan didominasi warna hitam dan biru tua menjadi warna yang sering dipakai. Untuk kaum perempuan kain digunakan dalam membuat baju adat yang memiliki bentuk menyerupai kebaya.

Hanya Perempuan Yang Boleh Menenun

Jika kita ini melihat langsung kegiatan menenun Suku Kanekes kita bisa mengunjungi Kampung Cibeo, salah satu kampung di Desa Kanekes. Di kampung ini, wisatawan dapat belajar dan mempelajari rumitnya proses pembuatan kain yang dilakukan dengan cara menenun. Bambu dan bilah-bilah kayu yang saling beradu serta menyelipkan benang dalam alat tradisional membuat wisatawan akan kesulitan saat melakukan kegiatan menenun.

Satu yang menarik, kegiatan menenun hanya boleh dilakukan oleh kaum perempuan saja. Konon jika pihak laki-laki terkena alat tenun apalagi mencoba kegiatan tradisi ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menjadi seperti perempuan.

Karena sangat unik, jika ingin berkunjung ke Kampung Kanekes, jangan lupa untuk membeli kain tenun khas Kanekes. Harga jual tenun Kanekes sangat terjangkau, yaitu berkisar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta.

Bagi yang berminat membeli kain tenun itu, warga di sekitaran perkampungan Kanekes berperan menjadi perajin dan penjualnya.

Selain karena keunikannya, pamor tenun Kanekes mulai naik manakala beberapa desainer fesyen kenamaan menjadikan tenun itu sebagai bahan dasar karya mereka.

Untuk membuat sehelai kain tenun berukuran 32 meter persegi rata-rata dibutuhkan waktu sekitar satu minggu.

Artikel ini telah terbit di : Indonesia.go.id

Filosofi Kain Tenun Kanekes

Desain website oleh Cahaya TechDev – Klub Cahaya

About the author : Indica Curie
Just someone who loves tourism.
Indica Curie avatar

Indica Curie

Just someone who loves tourism.

Mungkin Anda Menyukai

Dukungan & komentar!

Biar Karya Bicara
Ambil bagian, mainkan peran hidupmu!

Komentar

No comments yet