HIDUP DALAM RUANG EVOLUSI

HIDUP DALAM RUANG EVOLUSI

Oleh-oleh SEMINAR di Perpustakaan Nasional – Jakarta, 14 Januari 2016

(Kajian Naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, Sewaka Dharma)

1. Pengantar

Naskah kuno semua tentu tidak akan menarik jika pembacanya tidak melibatkan diri secara total dan cerdas. Butuh ruang nalar bebas dari berbagai dogma. Bahkan boleh jadi perlu cara berpikir kreatif dan imajinatif untuk dapat lebih menghayatinya.

Isi naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma sebenarnya tidak ada yang baru. Pun tidak ada yang aneh, sebab hampir semuanya telah kita ketahui atau setidaknya sudah pernah kita dengar. Yang menjadi pokok permasalahan adalah daya (kemampuan) untuk melaksanakannya (melakukan). Dapatkah manusia yang hidup di masa kini menempuh jalan kebajikan sesuai dengan yang terkandung pada ketiga naskah tersebut ?

Jika kita sari-patikan isi ketiga kitab kuno ini menuturkan tentang; pandangan atau hasil pemikiran yang bijak mengenai makna kehidupan yang selama ini justru menjadi persoalan hangat di masyarakat. Khususnya dalam ranah “keagamaan” di negara kita. Persoalan tersebut tidak jarang menjadi pemicu konflik horisontal di berbagai tingkatan dan beragam status sosial.

Namun demikian patut kita cermati bersama bahwa; para leluhur tampaknya telah mencoba bekerja keras. Mereka mewariskan wejangan kebajikan sebagai “jalan hidup” yang harus kita tempuh sebagai generasi penerus. Tidak perlu menyangkal bahwa wejangan tersebut pada dasarnya sangat sulit kita jalankan dengan penuh kesadaran.

Keunikan isi ajaran dalam ketiga naskah kuno ini; tidak adanya unsur lain turut campur dalam penghakiman manusia atas berbagai perilaku. Manusialah yang menentukan “jenis dan mutu” hukuman tanpa ada campur tangan dari pihak yang kita anggap lebih berkuasa dari manusia.

Segalanya terserah kepada manusia pemilik unsur kepintaran, kecerdasan, dan kepandaian sehingga diri sendiri bertanggung-jawab atas segala sikap dan perilakunya. Dan ini secara langsung telah mendudukan Yang Maha Kuasa benar-benar di tempat terhormat. Beliau sebagai Yang Maha Adil, lagi Maha Cerdas, tanpa tersisipi unsur perwatakan manusia.

Patut kita perhatikan tentang adanya ketiga naskah kuno ini. Ialah; tutur tinular ajaran mengenai penyebab manusia terlahirkan. Dinamika kehidupan sebagai manusia. Serta tahap-tahap kematian manusia itu semua terjelaskan dengan rinci. Semua telah tersampaikan secara turun-temurun sehingga menjadi pemahaman umum pada kehidupan masyarakat di masa lalu. Hal ini dapat berarti bahwa ajaran atau wejangan tersebut senyatanya telah “teruji” selama ratusan tahun bahkan boleh jadi ribuan tahun.

Para leluhur dan pini-sepuh memberikan wejangan mulia melalui Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma bukannya tanpa sebab. Kumpulan pengalaman dan hasil pemikiran cerdas serta bijaksana. Semua terwariskan secara turun temurun itu tujuannya adalah menuntun manusia agar mencapai keparipurnaan hidup. Manusia dapat kembali mencapai keabadian seperti pada mulanya.

Ajaran pada Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma yang berisi wejangan untuk memilih “Jalan Kebajikan” dengan perwatak kebuanaan (universal). Itu tampaknya sudah tidak ada minat oleh sebagian bangsa kita. Boleh jadi hal ini akibat oleh adanya “sudut pandang baru” mengenai tata-cara dan tujuan hidup manusia. Di lain pihak jalan kebajikan yang tersampaikan dalam ketiga naskah kuno sesungguhnya sangat berat. Dan tidak menjanjikan sesuatu pun selain mendapatkan “kemuliaan” sebagai manusia yang berhasil mencapai kesempurnaan (keabadian) semata di hadapan semesta.

2. Karma Dan Dharma Sebagai Sebab Kelahiran Manusia

Naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma berisi wejangan / pitutur yang menyangkut diri manusia. “Dengan segala cara-ciri kemanusiaannya terarahkan untuk mencapai kesempurnaan (keabadian)”. Di sisi lain naskah ini tampaknya dapat menjadi salah satu jawaban mengenai fenomena (misteri) keberadaan manusia dengan rahasia kehidupannya :

– Dari mana manusia berasal ?

– Bagaimana cara hidup sebagai manusia ?

– Kemana manusia harus berpulang ?

Merujuk kepada isi naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma bahwa :

“tidak ada satu pun manusia terlahir tanpa karma dan dharma”.

Setiap orang terlahirkan dengan membawa data-data kehidupan di masa lalu (past life) dari dirinya sendiri. Dengan demikian tentu sangat kita sayangkan bila data evolusi diri yang sudah baik berkurang (rusak) mutunya pada kesempatan hidup di masa kini. Boleh jadi hal itu merupakan salah-satu sebab alasan manusia harus tetap menjaga kesadaran dan senantiasa berbuat kebajikan.

Dalam ketiga naskah kuno tidak terdapat pernyataan yang bernuansa “kebetulan” atau terjadi secara tiba-tiba dan semena-mena. Maka, boleh kita artikan bahwa tidak pernah ada manusia lahir ke dunia tanpa syarat dan tanpa tujuan. Dengan kata lain, untuk menjadi sosok manusia itu tidaklah semudah dan sesederhana yang kita bayangkan. Manusia sama sekali bukan produk yang terlahir karena “kebetulan”.

Begitu banyak variabel yang menjadi pemicu kelahiran seseorang. Secara garis besar terpetakan gambaran tahap-tahap pembentukan manusia; dari unsur protein, mikro organisma, gugus perbintangan, hingga energi Jagat Agung (makro-kosmos). Setidaknya dari faktor ragawi terlihat bahwa alam semesta telah bekerja keras untuk menentukan kelahiran seseorang.

Di lain faktor. Keberadaan orang tua terposisikan sebagai unsur utama. Mereka berjasa mengantarkan kehadiran ragawi sebagai identitas bagi entitas yang akan melaksanakan tugas mulia. Dengan demikian beruntunglah menjadi manusia karena dalam waktu yang bersamaan milyaran mahluk bumi pun terlahirkan.

Pemikiran mengenai adanya “penyebab” kelahiran manusia yang berkaitan dengan perilaku di masa lalu dalam ruang waktu yang berbeda. Selayaknya kita pandang sebagai hasil kecerdasan luar biasa. Hal ini merupakan penawaran jawaban bagi pertanyaan “apa penyebab kelahiran manusia di bumi?”. Dengan melalui pendekatan logis-matematis yang berdasar oleh hukum kausalitas (sebab-akibat).

3. Kesadaran dan Kewaspadaan

Istilah eling lan waspada (sadar dan waspada) telah menjadi pepatah turun-temurun. Pada saat ini agak terpinggirkan, mungkin karena terlalu abstrak / mengkristal atau padat makna. Padahal dalam kalimat yang begitu singkat itu terkandung kebijaksanaan serta kunci pemahaman tentang keabadian.

Awal dari segala keberadaan adalah “kesadaran” (yang selalu hidup). Atau dengan kata lain “yang dulu telah ada dan akan selalu ada”. Konsep tentang kesadaran ini juga terpahami sebagai hubungan istimewa antara mikro-kosmos (Jagat Alit) dengan makro-kosmos (Jagat Agung). Kosmos; yaitu pola keberaturan semesta yang sangat sempurna. Dan hal tersebut telah ada dan akan selalu ada. Manusia sebagai Jagat Alit (mikro-kosmos) yang lahir di semesta sudah sewajarnya mengikuti pola keberaturan makro-kosmos (Jagat Agung).

Istilah eling lan waspada (kesadaran dan kecerdasan) atau yang senantiasa hidup, tampaknya menjadi kunci utama untuk mencapai tahap kesempuraan manusia menuju keabadian (yang senantiasa hidup).

Pada ‘kehidupan’ manusia, tonggak kesadaran terdapat pada unsur pernafasan sebagai bagian yang tidak pernah tidur. Nafas merupakan bagian yang secara langsung menghubungkan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Di lain pihak unsur nafas menjadi penanda (ukuran) atas kehidupan dan kematian manusia.

Manusia bernafas untuk mengambil udara sebagai unsur inti dan utama yang dapat membuat dirinya hidup. Maka, sesungguhnya manusialah yang “meminjam kehidupan” dari yang tidak pernah mati. Dengan kata lain bahwa satuan ukuran hidup manusia itu sama dengan tarikan nafasnya (hirup sama dengan hidup).

Dalam naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma terdapat pernyataan bahwa ketika melakoni kehidupannya manusia harus bijaksana dalam melaksanakan kinerja “bayu, sabda, hedap”. Dan anjuran sebaiknya manusia mempergunakan ketiganya untuk berbuat kebajikan.

4. Kausalitas Di Ruang Kosmos

Dalam kesemestaan Jagat Agung (makro-kosmos) tidak ada satu hal yang terputus. Semua saling terkait dan terhubungkan. Sekecil-kecilnya segala sesuatu yang terjadi akan mengakibatkan semesta bereaksi, memberikan dampak. Sama seperti peristiwa di Jagat Alit (mikro-kosmos), sakit di ujung jari akan terasa oleh seluruh tubuh.

Bumi bukanlah sebuah planet yang berdiri sendiri dan bekerja mandiri. Planet bumi adalah bagian sangat kecil dari rangkaian suatu sistem maha besar yang sedang bergerak secara serentak dan bersamaan. Jagat Agung ini tidak ada yang diam dan tatanan maha besar itu bekerja dalam ukuran yang sulit untuk kita bayangkan.

Kosmos sebagai pola keberaturan alam semesta yang sangat istimewa telah membawa seluruh makhluk bumi ke dalam proses besar evolusi. Tentu saja segala pergeseran dan perobahan itu terpicu adanya hukum kausalitas (sebab-akibat). Pola hubungan sebab-akibat pada dasarnya merupakan perwatak “hukum semesta” yang selalu bekerja mencari titik keseimbangan.

Hukum kausalitas di Jagat Alit (mikro-kosmos) sangat jelas tersampaikan dalam naskah kuno Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma. Bahwa setiap perilaku (sebab) tentu ada dampaknya (akibat). Maka tiga naskah kuno menganjurkan manusia untuk senantiasa bersikap bijak dan bajik dalam menjalankan proses kehidupan (*tepatnya mempergunakan kehidupan). Agar dampak yang timbul menjadi kemuliaan bagi diri sendiri dan menjadi keindahan bagi yang lainnya.

Banyak pepatah warisan para leluhur, selalu menekankan untuk bijak dan bajik dalam bertindak. Karena setiap tindakan sekecil-kecilnya akan berakibat pada semesta atau setidaknya berdampak pada diri sendiri. Ini tentu ada landasan alasan kuat dan sudah melalui proses pembuktian panjang dan terukur hingga mereka menyarankan hal ini bagi keturunannya.

5. Hiper Probabilitas

Memperhitungkan probabilitas kejadian dalam kehidupan di Jagat Agung (makro-kosmos) sama rumitnya (*mustahil) dengan menghitung jumlah pasir di tepi pantai. Tidak ada manusia yang dapat mengetahui kejadian yang teramat besar dan kompleks variabelnya. Bila kita renungi tentang kenyataan kondisi ini maka begitu besar kemungkinan kejadian yang bisa terjadi.

Dalam setiap proses pembuahan pada manusia. Satu kali pelepasan spermatozoa pria sehat berjumlah sekitar 50 juta sperma yang akan membuahi 1 atau 2 sel telur wanita. Bukankah ini probabilitas yang sangat luar biasa? Peluang terjadinya pembuahan 1 : 50.000.000 itu hal yang sangat kecil kesempatannya? Ini merupakan kejadian istimewa yang patut kita sadari sepenuhnya.

Pernahkah terlintas pemikiran; dari sekian banyak pasangan kenapa saya harus lahir dari orang tua yang itu? Dari sekian banyak laki-laki / perempuan kenapa pasangan hidup saya yang itu? Dari sekian banyak manusia kenapa adik / kakak saya harus yang itu? Dan dari waktu yang demikian panjang kenapa saya lahir pada hari itu di tahun itu? dll, dst, dsb. Masih sangat banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban logis-matematis.

Manusia hadir hidup dan menjalani beragam nuansa kehidupan melalui peristiwa yang sangat istimewa untuk menuntaskan karma melalui dharmanya. Maka sudah sepatutnya manusia menghargai dan menghormati sesama manusia beserta seluruh penghuni bumi, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.

6. Dunia Paradoks Hidup Dalam Ruang Evolusi

Prinsip mendasar dalam keseimbangan adalah adanya kondisi paradoks. Listrik akan menyalakan lampu ketika arus positif dan negatif bertemu. Perkawinan laki dan perempuan akan menghasilkan keturunan. Pada tumbuhan, binatang, pun terdapat kondisi paradoks yang memungkinkan segala proses keberlanjutan dan keseimbangan alam ini dapat berkeja. Adanya siang dan malam adalah keadaan yang mengatur kegiatan semua makhluk.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa situasi dan kondisi paradoks merupakan faktor yang memicu dinamika kehidupan. Itu mengakibatkan terjadinya tumbuh kembang peradaban manusia dengan segala nilai dan teknologinya.

Bagaimana mungkin manusia mengenal kebaikan bila tidak ada keburukan? Manusia tidak mengenal gelap jika tidak ada terang, tidak mengenal kesedihan bila tidak ada kegembiraan, dan seterusnya. Jadi kondisi berlawanan ini bukan persoalan jelek atau bagus, melainkan untuk saling melengkapi demi gerak kehidupan yang berkelanjutan.

Manusia yang senyatanya hidup di ruang paradoks sudah pasti selalu menghadapi dua keadaan dengan segala perwataknya. Maka di sinilah pentingnya potensi kecerdasan sebagai kemampuan memilih.

Jakarta, 14 Januari 2016

~ LQ ~

Tabe pun,
🙏🏻🙂❤️☀️🇲🇨
Rahayu sagung dumadi.

HIDUP DALAM RUANG EVOLUSI

Desain website oleh Cahaya TechDevKlub Cahaya

HIDUP DALAM RUANG EVOLUSI HIDUP DALAM RUANG EVOLUSI

About the author : Ciung Wanara
Tell us something about yourself.

Mungkin Anda Menyukai

Dukungan & komentar!

Biar Karya Bicara
Ambil bagian, mainkan peran hidupmu!

Komentar

No comments yet