Hubungan Mesra Manusia Dengan Jagat Raya Melahirkan Mitigasi
Mitigasi bencana secara umum terpahami sebagai upaya untuk mengurangi dan meminimalkan dampak dari peristiwa bencana. Pun termasuk meminimalkan adanya korban. Kalau bisa mengupayakan semaksimal mungkin jangan sampai ada korban, baik korban jiwa maupun harta benda. Pengertian umumnya demikian, sedangkan untuk berbagai pembelajaran secara teknis dan metodologis kita bisa mempelajarinya dari para ahli mitigasi, dan juga badan otoritas terkait di negeri ini.
Ada hal lebih mendasar yang ingin saya ulas dari tulisan ini, tentang hal ini menjadi pemahaman paling fundamental sebelum kita menginjak ke wilayah ilmu pengetahuan yang bernama mitigasi. Yaitu mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungan di tempat kita tinggal. Karena terjadinya berbagai bencana tidak bisa lepas dari adanya hubungan yang buruk, yang tidak harmonis antara manusia dengan lingkungan. Hubungan buruk mulai dari perilaku manusia yang tidak mau merawat alam lingkungan. Dan pertama-tama hal itu terjadi karena manusia “tidak mengenal” alam.
Bagaimana bisa, manusia tinggal di dalamnya tetapi tidak mengenalnya? Ya itulah faktanya. Bagaimana mau ada hubungan harmonis jika tidak ada kedekatan secara emosional? Tapi itulah kenyataannya.

Manusia jaman kita ini sejak kecil terbiasa menjadi apatis dan tidak peduli terhadap alam. Sampai menjadi dewasa mereka hanya tahu mengeksploitasi alam demi keuntungan pribadi, tanpa upaya untuk me-recovery dan melakukan rekonstruksi. Itulah kebiasaan manusia di peradaban jaman kita saat ini. Dan ketika alam melakukan recovery-nya sendiri manusia malah menamakannya sebagai bencana, karena mereka merasa rugi. Padahal manusialah yang selama ini selalu menyakiti alam, merusak alam, tidak mau merawat dan melestarikan. Ketika bencana sudah terjadi, memakan banyak korban dan kerugian barulah hanya bisa berkata; “Ini sudah kehendak Tuhan”. Tuhan yang mana? Kog ada Tuhan kurang kerjaan yang bikin bencana di banyak tempat? Itu kan sebenarnya karena ulah manusia sendiri.
Manusia benar-benar “terpisah jauh” dari alam lingkungan tempat mereka hidup. Terpisah secara ikatan emosional, terpisah dari keterhubungan energi. oleh karena apa yang dipelajari dan membentuk pola pikir serta karakter mereka sejak kecil adalah segala hal yang jauh di luar sana, di ketinggian atau di langit sana. Padahal hidupnya di bumi, setiap hari menginjakkan kaki bumi, makan dan minum dari saripati bumi, menghirup udara di permukaan bumi. Berbagai doktrin dan ajaran yang menjauhkan keterhubungan secara emosi dan spirit antara manusia dengan alam lingkungannya, dengan bumi yang dipijaknya benar-benar menjadi mesin brainwasher yang akhirnya menjadi benteng pemisah dalam hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Manusia mengklaim dirinya saleh, melabeli dirinya sebagai pemegang sistem keyakinan dan percaya kitab suci. Dirinya berbicara tentang kenikmatan surga dan alam antah berantah.
Tetapi suka membuang sampah di aliran sungai, suka menebangi hutan tanpa melakukan upaya reboisasi, menggunduli lereng gunung demi menghasilkan keuntungan pribadi, mengeksploitasi alam besar-besaran demi pemuasan ego sendiri. Dan akhirnya menjadi bencana; banjir bandang di banyak tempat, tanah longsor memakan korban jiwa dan harta benda, semburan lumpur dan gas beracun dari dalam tanah, dan sebagainya. Bukankah itu berarti akalnya tidak terpakai, nalarnya tidak berfungsi? Ini tanah tempat mereka hidup adalah surga yang hakiki, tapi justru merusak dan tidak mau merawat, malah memuja halusinasi. Terbalik sangat ekstrim sekali.
Kenapa kita harus menjaga, merawat dan melestarikan alam? Demi kepentingan siapa? Jelas demi kepentingan manusia itu sendiri. Agar manusia bisa selamat, bisa hidup damai dan nyaman di bumi, tidak terkejar-kejar dan terhantui oleh bencana buatannya sendiri. Semua itu demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, bukan demi alam lingkungan, bukan demi bumi. Bumi ini seandainya tidak ada satu pun umat manusia yang hidup di atasnya, ia akan tetap baik-baik saja. Jika bumi rusak atau sakit, ia dengan mudah meng-healing dan merecovery dirinya sendiri, tanpa perlu bantuan manusia. Justru keberadaan manusia lebih sering menjadi hama perusak bagi kelangsungan ekosistem di bumi.

Jadi jika manusia mempunyai kesadaran tinggi dan melakukan tugasnya merawat dan memperindah bumi itu ya demi kebaikan dan kedamaian hidup manusia itu sendiri, agar tetap bisa eksis hidup di bumi. Jika tidak hidup di bumi memangnya manusia mau hidup di mana? Mau pindah ke planet Mars? Atau mau bikin stasiun luar angkasa dan tinggal di sana? Memangnya kita hidup dalam film Interstellar? Lha itu orang-orang NASA yang dari berabad-abad lalu melakukan penelitian terhadap kemungkinan planet lain yang layak huni, kog belum juga pada pindah ke sana dan masih juga tinggal di bumi? Artinya hanya bumi yang layak jadi hunian manusia kan? Itu alasannya kita harus menjaga.
Maka orang Jawa mempunyai konsep ajaran “hamemayu hayuning bawana”, demi menjaga kehidupan manusia agar tentram damai, dan sejahtera. Harmonis dengan lingkungan hidup di bumi.
Bumi ini memiliki energi hidup, maka sebutannya juga adalah Ibu Bumi, rahim Ibu Pertiwi. Kita manusia adalah anak-anak yang tinggal di atasnya, hidup dari sumber makanan yang merupakan hasil dari dalam perutnya. Dan bernafas dari udara yang ada di permukaannya. Kita adalah bagian dari bumi dan alam semesta. Ibarat anak dengan leluhurnya, bumi dan alam ini adalah orang tua kita. Maka seharusnya sangat pantas jika kita memiliki ikatan emosional, hubungan batin dan hubungan energi dengannya.
Karena bumi ini hidup, maka ia juga beraktivitas, punya geliat dan siklus gerakan. Yang kita sebut sebagai bencana alam seperti misalnya bencana hidrometeorologi adalah bagian dari geliat dan aktivitas bumi dan alam itu sendiri. Namun aktivitas dan geliat alam yang tidak bisa tercampuri oleh tangan manusia ini tetap bisa kita minimalkan dampaknya agar tidak merugikan manusia. Dengan cara mengenali dan hidup harmonis dengannya. Selain menjaga, merawat dan tidak merusaknya, adalah juga dengan memelihara koneksi energi. “Niteni” siklus, mengamati dan mencatat pola, mempelajari kebiasaan dan aktivitas binatang serta tumbuhan yang hidup di sana. Serta yang tidak kalah penting adalah memahami konsep tata ruang, ilmu empan papan serta “unggah ungguh” dalam melakukan aktivitas kita di bumi ini. Misalnya mendirikan bangunan, membangun infrastruktur, membuka lahan pertanian dan perkebunan, melakukan penggalian bahan tambang, mengambil sumber daya alam, dan sebagainya.
Semua harus berlaku dengan perhitungan yang cermat.
Dalam ilmu pengetahuan modern sudah mengenal ilmu planologi, yang mempelajari konsep pendirian bangunan dan arsitektur dengan memperhatikan tata ruang yang baik. Misalnya posisi daerah rawan gempa, posisi jarak aman dari kawah gunung berapi aktif, posisi jalur lahar, posisi rawan tanah bergerak, posisi jarak aman dari bibir pantai dan sekiranya. Aman dari potensi tsunami dan lain sebagainya. Itu baru konsep sains. Belum ilmu tradisional yang biasanya melibatkan unggah ungguh secara spiritual dan konsep koneksi energi. Jika di China ada fengshui, sesungguhnya juga mengenai konsep pemahaman ini, agar manusia yang tinggal di muka bumi ini selamat dan hidup tentram damai. Di negeri kita Nusantara dengan seabrek kearifan lokalnya tentu jauh lebih kaya ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep hubungan manusia dengan alam semesta, mengenai empan papan tata ruang, mengenai hubungan batin dengan Ibu Bumi dan sebagainya.
Hubungan Mesra Manusia dengan Jagat Raya Melahirkan Mitigasi
Manusia yang mempunyai kesadaran tinggi, berdaya welas asih dan empati yang besar, dengan sendirinya akan tergerak untuk merawat bumi dan melestarikan alam lingkungan. Dan selanjutnya memiliki hubungan energi yang kuat, sehingga akan berusaha semaksimal mungkin tidak melakukan hal-hal yang berpotensi merusak alam dan menimbulkan bencana. Pun bumi dan alam semesta yang selalu beraktivitas dan biasanya mengirimkan pertanda, akan bisa tertangkap dan terwaspadai oleh orang-orang tersebut. Sehingga bisa meminimalkan dampak dari geliat alam itu. Pertanda itu bermacam-macam bentuknya, berupa aktivitas binatang, tumbuhan, gejala yang muncul di tubuh. Intuisi yang tajam bagi orang-orang yang peka secara spiritual, perubahan energi di sekitar kita juga akan terasa oleh orang-orang yang berempati tinggi terhadap gerakan alam, dsb.
Mempelajari keterhubungan manusia dengan bumi dan alam lingkungan dan meningkatkan kesadaran diri kita adalah fundamental dari yang disebut dengan “mitigasi bencana”. Semua yang saya jelaskan di atas adalah pondasi dasar sebelum kita mempelajari teknis mitigasi secara saintifik dari para ahli yang berkecimpung di dunia mitigasi bencana.
Di bawah ini saya sertakan artikel tulisan oleh seorang ahli mitigasi, terkait teknis dan metode secara sains mengenai mitigasi bencana di Indonesia. Selamat membaca.
https://klubcahaya.com/sosial/pentingnya-mitigasi-bencana-di-indonesia/
Nunik Cho
Hubungan Mesra Manusia dengan Jagat Raya Dalam Mitigasi
Desain website oleh Cahaya TechDev – Klub Cahaya
Dukungan & komentar!
Komentar