Stop Playing Victim, Ciptakan Perubahan Dari Dalam Diri Sendiri
Playing victim secara umum dipahami sebagai suatu sikap yang memposisikan diri seolah-olah sebagai korban, entah akibat perlakuan orang lain dalam sebuah konflik maupun sebagai korban keadaan. Padahal justru dirinya adalah pelaku sebenarnya.
Sejatinya dalam setiap hubungan antar manusia itu selalu ada potensi terjadinya konflik, entah frontal ataupun halus. Konflik terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan cara pandang, serta perbedaan kepentingan. Dan masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik tersebut merasa sama-sama harus mempertahankan pendapatnya, cara pandangnya, kepentingannya. Sehingga tidak bisa menghindari terjadinya benturan bahkan sampai pertikaian.
Jika hal ini sudah terjadi, biasanya akan ada yang merasa rugi. Pihak yang merasa rugi kemudian menyebut dirinya sebagai korban.

Dalam situasi konflik, tidak jarang kedua belah pihak sama-sama merasa rugi atau mengalami kerugian. Keduanya saling menyebut dirinya sebagai korban, dan sama-sama menuding orang lain sebagai pelaku pembuat kerugian atas dirinya. Jika sudah seperti ini sudah sulit untuk menilai, yang benar-benar korban. Atau yang hanya seolah-olah sebagai korban.

Sebetulnya penilaian bahwa diri kita adalah korban atau pelaku itu sangat subjektif. Semua merasa paling benar, sesuai kepentingan masing-masing. Dan sangat jarang orang yang terjebak dalam situasi konflik itu bisa berpikir objektif. Sulit menyadari bahwa dirinya juga turut andil dalam menciptakan hubungan yang buruk sehingga memunculkan pertikaian yang menyebabkan banyak kerugian. Entah bagi dirinya sendiri atau bagi pihak lain. Karena kuatnya ego dan besarnya rasa gengsi, sehingga lebih mudah menyalahkan dan menuding pihak lain.
Seandainya manusia bersedia sesering mungkin menurunkan tekanan dari egonya masing-masing yang selalu merasa paling benar itu maka potensi munculnya konflik akan bisa menjadi minimal.
Manusia bisa berpikir lebih terbuka dan objektif terhadap yang disebut kebenaran. Bahwa setiap orang dengan pendapatnya masing-masing adalah suatu keniscayaan hidup. Bahwa hidup itu isinya banyak perbedaan.
Kembali lagi ke masalah konflik dan istilah korban. Semakin manusia bisa berpikir terbuka, mereka akan lebih luwes memposisikan dirinya dalam setiap hubungan dengan sesama. Baik dalam lingkup kecil, maupun secara luas dalam sebuah sistem. Dari sudut pandang yang lebih luas seperti inilah kemudian kita bisa memilih posisi.
Dari setiap ketidaknyamanan kita dalam berhubungan dengan sistem sebenarnya posisi kita macam-macam, sesuai sudut pandang yang kita tempatkan. Kita bisa saja sebagai korban, sebagai pelaku, sebagai pengamat, atau bahkan tidak ketiga-tiganya. Kita memang tidak bisa tidak tetap berada di dalam sebuah sistem, tidak bisa lepas dari itu. Tetapi fokus pikiran bisa kita manage sesuai pilihan kita masing-masing.
Jadi selanjutnya posisi diri kita dalam sistem adalah sesuai cara berpikir kita, sesuai fokus kita. Apakah dirimu kamu tempatkan sebagai korban keadaan, sebagai pelaku, sebagai pengamat, atau justru pindah fokus berpikir kepada hal lain, tidak kepada sistem apapun? Saya menamakan ini dengan istilah “pindah frekuensi”.
Mungkin bisa fokus kepada pengembangan diri, fokus berkarya yang bermanfaat, fokus belajar suatu keahlian, fokus self healing and recovery mental, dan sebagainya.
Jadi mau keadaan sistem baik-baik saja atau sistem berantakan, atau bahkan sistem sangat jahat sekalipun, anda tidak akan begitu terpengaruh. Anda akan tetap baik-baik saja, karena anda membangun dunia anda sendiri, anda menciptakan frekuensi anda sendiri, lewat fokus pikiran dan perhatian kepada hal lain. Pikiran bisa membangun kehidupan kita menjadi sangat baik atau justru menghancurkannya, tergantung arah fokus dan perhatian pikiran itu tercurahkan.
Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan atau jatuh bangun dalam keterpurukan. Dalam keadaan seperti ini orang memiliki dua pilihan, berjuang untuk bangkit, introspeksi diri kemudian bekerja keras membuat perubahan untuk memperbaiki keadaan, atau, tetap berhenti dalam keterpurukan sambil mengutuki kegagalan dan menyalahkan orang lain atau menyalahkan sistem.

Bisa jadi keadaan gagal dan jatuh yang dialami adalah buah yang harus dipetik dari perbuatan di masa lalu, sadar atau tidak. Dalam istilah orang Jawa menyebut “Ngundhuh wohing Pakarti” artinya menerima akibat dari perbuatan di masa sebelumnya. Atau bisa jadi juga kegagalan dan keterpurukan itu berasal dari pola hidup, pola pikir, karakter dan temperamen buruk yang kita pancarkan dari dalam diri sendiri. Sehingga menyebabkan medan energi negatif yang juga menarik hal-hal serupa. Semua mungkin saja adalah akibat dari sikap hidup kita sendiri yang “tidak sehat”.
Tetapi tidak sedikit orang yang tidak mau introspeksi diri ketika mengalami keterpurukan. Selalu menyalahkan pihak lain, menyalahkan keadaan, menyalahkan sistem dan sebagainya, akibat dari pola pikir tertutup, merasa sudah melakukan hal paling benar, yang ternyata menyesatkan diri sendiri. Hal seperti ini justru membuat orang tidak bisa berkembang, tidak bisa dewasa menghadapi romantika hidup dan asam garam kehidupan.
Merasa diri seolah-olah selalu menjadi korban dari keadaan yang menimpa dirinya, padahal dirinya sendiri sebagai penyebab masalah, ini yang istilah kekiniannya disebut sebagai playing victim.
Padahal jika orang mau sadar diri semua yang menimpa diri juga berasal dari diri sendiri. Hukum semesta itu saklek. Menanam-menuai, “nandur-ngundhuh”, ada akibat pasti ada sebab. Semua berawal dari pola pikir. Lahir menjadi perilaku, kemudian menjadi kebiasaan. Selanjutnya membentuk karakter dan menciptakan daya magnetis, medan energi, yang memancar dan menarik hal-hal di luar diri kita. Jadi ketika kita merasa hidup kita mulai tidak beres, entah berhubungan dengan interaksi dengan orang lain atau tidak, yang harus dilihat ulang dan berubah pertama kali adalah pola pikir kita. Merubah mindset sama dengan merubah dunia.
Jadi berhenti merasa diri sebagai korban, tetapi mulai berpikir untuk merubah semuanya dari dalam. Dari mindset, sikap hidup, kebiasaan, fokus perhatian, temperamen dan cara merespon keadaan. Dan lihat betapa dunia anda berubah. Perlakuan orang lain terhadap anda adalah cerminan tentang hal temperamen anda terpancar. Keadaan hidup yang menimpa anda adalah pantulan dari pola pikir dan sikap hidup anda selama ini. Stop playing victim, stop menempatkan diri sebagai korban keadaan, dan mulai menciptakan hidup anda yang penuh kedamaian, keberlimpahan dan keberuntungan mulai dari mendandani pola pikir dan sikap.
Jika kita terus menerus merasa sebagai korban, maka selamanya akan hidup menderita. Karena ya memang sistem berkehidupan begini adanya. Protes, menyalahkan keadaan, mengutuki kegelapan tidak ada gunanya, hanya membuang energi percuma, kecuali anda menyalakan sebatang lilin atau sentir untuk mengusir kegelapan itu. Syukur-syukur anda bisa menciptakan cahaya yang lebih terang agar seluruh hidup anda cerah dan gemilang. Semua adalah pilihan, maka pilihlah hal yang tepat dan membahagiakan.
Nunik Cho
Stop Playing Victim, Ciptakan Perubahan Dari Dalam pribadi Sendiri
Desain website oleh Cahaya TechDev – Klub Cahaya
Dukungan & komentar!
Komentar